Pedagang Kaki Lima HI & Street Photography trisoenoe.com |
Kediri, Tabanan, Bali, Minggu, 1 Desember 2024
(Ditulis di Tabanan, Bali Selatan, pada awal bulan Desember, tepat ditengah musim penghujan. Segelas kopi hitam dan sebatang rokok adalah sahabat terbaik disaat menikmati hujan)
Artikel ini adalah sambungan dari artikel yang telah diunggah sebelumnya, yang bertutur tentang kisah seorang yang dahulu kala cukup berjaya, seorang yang dulunya multi talenta, yang punya judul: "Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Kedua". Dan ini adalah artikel kelanjutannya, silahkan disimak:
Mata Om tustel berpindah ke tempat lain, senyumnya mengambang, sedang mulai terbawa dalam lamunan. Saya sempat memperhatikan bahwa matanya sekarang tampak terlalu sipit, ini adalah karena ujung-ujung alisnya telah berlipat jatuh. Dia senyum lebih lebar sambil melirik saya. "Kasihan kalau dipikir-pikir nasib itu nona-nona. Saban sore banyak saja yang hilir-mudik di depan lobby studio TVRI. Padahal tidak mungkin dia bakal bisa ketemu kita. Bukan macam bintang-bintang sekarang, kita orang nggak kena nongol sembarangan. Kita sendiri bisa lihat dia. Tapi yang penting kalau sudah duduk dalam korsi penonton di dalam Studio. Waktu pertunjukan baru dimulai, baru lagu-lagu pembuka atau pembawa acara, lampu di tempat penonton masih menyala, kita ngintip. Kita bisa lihat siapa-siapa yang nonton di sebelah kiri depan, duduk si nona cantik diapit sama temannya, barangkali di deret tiga dari muka ada nona yang boleh juga, dan itu sebelah kanan ada tiga korsi kosong yang di tengah-tengahnya duduk seorang tante bersama suster, itulah tante kaya; barangkali suaminya penggede di instansi, bedak tebel dan gincunya menor, gelang emasnya segede-gede selang air. Kalau sudah ketahuan begitu, beres sudah. Kalau nanti kita muncul di panggung, jangan lupa lemparkan lirikan dan senyuman ke korsi-korsi yang sudah kita incer tadi. Waktu kita nyanyi sendirian, umpamanya pas ditengah adegan yang cuma Om aja yang kelihatan, Om bakal tampil maksimal sambil kasih lirik isyarat sama senyum ke sasaran.
"Penonton di korsi studio bakal teriak-teriak. Jatuhkan lirikan sembari sedikit senyum pada si nona-nona manis. Cukup. Pas sandiwaranya bubar, Om bakal terima banyak kabar dari temen-temen pemain figuran. Ada nyang bilang Om ditunggu mobil di belakang. Ada nyang minta supaya difotoin sama Oom malem itu juga. Foto apa malam-malam begitu? Ada yang minta Oom kasih jenguk seorang gadis yang mendadak jatuh sakit. Yah, sudah Oom ceritakan bagaimana selanjutnya sama you. Susah, bisa you bayangkan apa kejadian selewatnya bubar pertunjukan".
Ekspresif ! Portrait & Soft Photography trisoenoe.com |
"Cukup barangkali kalau Om kasih tahu, waktu itu Om punya tiga rumah, sepeda motor tiga dan mobil dua. Om punya dua puluh kotak beludru yang masing-masing isinya lima puluh gram emas batangan, dua tabungan yang bisa bakal beli empat rumah, cincin emas enggak tahu berapa banyak, selosin gelang emas, jam emas, dan tustel kelas wahid, ada kali lima belas biji. Semua Om dapat dari tante-tante yang manis.... Ada pantun lagu nyang bunyinya begini:
Muara Angke bukan Kerawang
Carilah tante nyang banyak uang.
"Tapi bukan maksud Om mau ngeret mereka. Orang ngeret nanti ketiban sial! Itu tante-tante yang berebutan datang. Kita sih namanya juga seniman, perlu dapat simpati penggemar. Salah dia sendiri kalau fall in love sama Oom, betul enggak? Kalau Om enggak terima, gimana? Malah ada nyang bilang dia mau bunuh diri. Belum ada yang sampe kejadian bunuh diri, tapi lebih beres kan memang kalau Om terima saja, betul enggak? Walhasil Om punya harta Nyang nggak maen-maen banyaknya."
Bersambung ke bagian keempat dengan judul: “Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Keempat”, semoga Sobat bisa banyak senang saat membacanya.