Sabtu, 23 November 2024

Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Kedua


Pedagang Buah
Street Photography & Candid
trisoenoe.com

Kediri, Tabanan, Bali, Sabtu, 23 November 2024

(Ditulis di Bali Selatan, menjelang berakhirnya bulan November, dan masih ditemani dengan rokok dan kopi hitam)

Artikel ini adalah sambungan dari artikel yang sudah saya unggah sebelumnya, yang bercerita mengenai kisah seorang yang dahulu kala cukup berjaya, seorang yang dulunya multi talenta, yang punya judul: "Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Pertama". Dan ini adalah artikel kelanjutannya, silahkan disimak:

"Masa semua sandiwara pakai nyanyi segala, Oom?" 

"Namanya juga lagi naek daun, jadi Om banyak tingkah. Kadang kesian juga kalo diingat, pemain-pemain lain pada kebingungan karena Om nyanyi di tengah-tengah adegan, dan itu bener-bener nggak ada dalam naskah. Kalo nyang pinter biasanya bisa langsung nimpalin atau ikutan nyanyi. Tapi kalo emang pas Oom dapet lawan maen nyang bloon, baru kacau jadinya. Pemain nyang bloon itu biasanya langsung pucat, apalan dialognya bisa langsung buyar, dan kalo emang anaknya culun, biasanya langsung nangis dan kaga mau maen sama Om lagi. Dan Oom punya suara...?" Mata Oom Tustel melirik pada kopinya yang hampir habis, saya acungkan dua jari ke mas Bejo, pesan kopi lagi dua cangkir. "Ya, Oom punya suara, kalau Oom sudah tarik, itu schowburg atawa Gedung Kesenian sekarang disambung tiga ke belakang, Oom punya suara masih kedengaran. Zonder mikrofon...."

"Itu nyanyi atau gimana, Oom?"

"Ya, nyanyi! Ooo, orang nyanyi waktu itu bukan kayak sekarang sekadar gerendengan macam orang kena asma. Yaaa, barangkali you belum pernah dengar pavaroti atawa Andrea Bocelli...."

"Pernah, pernah." jawab saya yang segera teringat lagunya, "Ada di youtube, Oom."

"Nah, begitulah suara Oom, ya, kira-kira begitu deh, maklum kita bukan orang Eropa."

"Hebat benar, Oom," kata saya sambil bantu menyodorkan kopi yang baru datang lagi. Om Tustel menerimanya sambil senyum, menggeser duduknya sedikit.

Perempuan dalam Gaun Merah
Soft & Beauty Photography
trisoenoe.com

"Dalam sandiwara 'Anak jalanan', Oom main jadi Ali Topan, si jagoan. Waktu merayu Anna, Oom ambil lagu My Love. Layar dibuka, Anna lagi ngelamun di pinggir taman. Abis dua-tiga patah Anna bicara, lantas terdengar musik permulaan dari lagu yang bakal Oom bawakan, mendayu-dayu. Buat bikin beres tukang musik saja Oom keluarkan uang lima ribu perak!"

"Buat apa musti di-beresin?"

"Oho, dia bisa bikin kita benjol! Sedikit saja dia kasih tinggi toon kita, kan kita bisa mendelik, bisa putus tenggorokan. Setengah menit musik maen, Oom tarik suara dari belakang layar, orang tepuk tangan. Oom belum kelihatan, tuh! Oom biarkan dulu penonton di studio celingukan mencari dari mana Oom bakal keluar. Sebelum muncul, Oom intip dulu keadaan penonton dari sisi-sisi layar latar. Oom perlu cari tahu di mana duduknya itu tante-tante serta nona-nona manis. Klaar, Oom pun keluarlah sambil menyanyi, mengangguk sedikit, gegap-gempita tepuk-tangan serta sorakan. Anna belum kita perhatikan dulu. Dia boleh tunggu! Selepas beres, Oom kasi anggukan serta sedikit senyum buat si nona-nona manis yang sudah Oom incer dari belakang layar, baru Oom membalik dan nyanyi buat Anna. 

"Aduuuh, asyik betul, Oom," sela saya sambil menyodorkan lagi rokok karena dia payah betul melinting rokoknya. Sopan sekali dia cabut sebatang.

"Tapi you musti lihat gimana besoknya," katanya lebih gairah, setelah ia menyedot rokoknya dalam-dalam. "Kita orang mabuk samasekali."

"Bir?"

"Ah, bir minuman orang perempuan. Kita tidak kenal bir. Vodka, Whisky, Cognag, itu baru namanya mimuman. O, God, what a pleasure life." Dihirupnya kopinya sedikit.

"Kenapa bukan dipakai buat jalan-jalan sama si nona manis saja?" tanya saya sementara ia sedang mengedip- ngedip menikmati kopinya.

"Hooo, jalan-jalan sama nona manis bukan kita yang keluar uang. Dia orang yang berebut mentraktir Oom. Apa lagi sama tante istri penggede, itu istri-istri yang suaminya penggede di perusahaan negara, ditanggung beres semua. Yaaa!" Om Tustel mengangguk-angguk meyakinkan, mungkin dia melihat bahwa saya kurang yakin. Saya mengangguk, ia tersenyum. 

Bersambung ke bagian ketiga dengan judul: “Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Ketiga”, semoga Sobat bisa banyak senang saat membacanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar