Kemayoran, Jakarta, Senin, 2 Desember 2019
(Ini kisah dua babak. Babak pertamanya adalah yang saya posting hari ini. Sebenarnya, cerita ini bisa saja jika saya tuliskan hanya dalam satu bagian saja. Tetapi, tak ada salahnya juga kan kalau saya unggah menjadi dua bagian, iya kan?)
Beberapa bulan belakangan, bolehlah saya bilang sebagai bulan cobaan. Banyak betul cobaan yang datang, dan herannya, kok ya betah banget itu cobaan sampai menginap berbulan-bulan pada diri saya. Mulai dari cobaan di sawah tempat saya nyari sesuap nasi, cobaan macet di jalan gara-gara banyaknya galian, cobaan tagihan, sampai dengan cobaan yang datangnya dari diri sendiri. “Weleh…weleh…weleh!”
Ujung-ujungnya, semua cobaan itu bermuaranya di duit juga. Ternyata, benar juga peribahasa yang sering saya baca di tempelan pantat motor yang kerap saya lihat kalau lagi kena macet di jalan, dan peribahasa yang satu itu juga banyak diomongin orang-orang yang lagi ga punya duit macem saya sekarang ini: “Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang!”
Peribahasa itu memang ngeselin, tapi ada benarnya juga, paling tidak, untuk saat ini peribahasa itu terasa benar menurut saya.
Yah….Daripada bingung dan pusing, ada baiknya minum kopi sambil merokok lagi, moga-moga saya bisa dapat inspirasi atau bisa ketiban rejeki. Kemudian, pergilah saya ke warung kopi malam itu.
Dan benar saja, walaupun hanya sebagian yang benar.
Memang, tak lama kemudian, ada yang datang. Tetapi, bukan inspirasi apalagi rejeki, melainkan kawan lama saya si Bedul yang datang menyambangi saya. Buat saya, Bedul ini lebih mirip ke arah “cobaan” ketimbang “inspirasi”! Kok bisa cobaan?
Nah, sebentar lagi sobat-sobit akan paham, kenapa kawan saya ini lebih cocok disebut “cobaan” ketimbang “inspirasi” (untuk sobat yang belum mengenal kawan saya si Bedul ini, silahkan baca artikelnya di sini dan sini).
“Hallo om, lagi asik ngopi nih?” Tanya Bedul dengan ekspresi yang ceria-ceria ngeselin.
“Bukan brohhh….lagi berenang. Udah tau lagi ngopi, masih ditanya!”
“Wah, cocok lah, saya juga belum ngopi nih Om sedari pagi!”. Dan duduklah dia di sebelah saya, sambil mengacungkan jarinya ke arah penjual kopi, “Kopi hitam bang, satu, cepetan! sama dia ya bayarnya!” Tak ketinggalan jarinya menunjuk ke arah saya, sambil tersenyum manis.
Tuh kan! Apa saya bilang, cobaan!
Tapi, bedanya si Bedul kali ini, dia hari ini lebih banyak berceloteh ketimbang diam. Kali ini dia banyak bicara tentang “menjual foto”. Rupanya, kawan saya ini tengah terbuai dengan janji manisnya uang boleh dia jual foto-fotonya.
Bukannya tanpa alasan si Bedul ini ramai berkicau tentang dapat komisi dari menjual foto. Selang dua hari lalu, si Bedul ini dapat order untuk foto, dan bukan sembarang foto, tetapi foto bangunan alias gedung. Rupanya, orang yang menyuruh kawan saya ini tergolong orang yang berduit, dan kebetulan sekali orang ini punya hasrat untuk memamerkan gedung miliknya lewat brosur, supaya laku dan banyak peminat kalau mau dia sewakan.
Alhasil, dia minta si Bedul untuk mulai ambil foto gedung itu. Dan datanglah si Bedul ke TKP sesuai dengan kesepakatan. Tak main-main memang, si Bedul ini datang lengkap dengan senjata pusakanya tergantung di leher, dan masih ditambah dengan berbagai printilan ajimat pelengkap; kamera, tripod, berbagai macam lensa lengkap dengan filternya, payung, blitz, termos air, air mineral dalam gallon, aneka cemilan, rokok, dan ratusan barang lain yang sulit diungkap dengan kata-kata. Setelah semuanya dirasa sudah mulai pas, mulailah dia menjeprat-jepret si gedung itu.
Berbagai sudut dicoba, berbagai pencahayaan juga diterapkan, dan berbagai teknik fotografi, mulai dari yang paling sederhana, sampai yang paling serem dan paling njelimet dia gunakan. Bukan hanya “all out”, tetapi sudah sampai “everything out”.
Belum lagi gayanya, wah, pokoknya bikin ngeri deh. Gaya jongkok, berdiri, miring, sampai tiarap, dia pakai semua. Cuma gaya salto yang dia tak pakai. Mungkin dia lagi encok saat itu, jadi dia tak pakai salto saat memotret!
Setelah urusan jepret menjepret itu beres, lalu pulanglah dia untuk permak foto yang dia bikin tadi. Bukannya tak bagus hasil fotonya, tapi, akan jauh lebih cantik lagi kalau foto-foto itu di”make-up”, kasih edit sana-sini, supaya hasilnya bikin puas hati si pemberi order. Si bedul bilang, foto-foto itu jadi kelihatan sesuai dengan maunya si Juragan setelah dia kasih poles dengan editan.
Dan sehari setelahnya, si Bedul ini kasih foto-foto itu ke Juragan yang pesan fotonya. Dan masih menurut ceritanya si Bedul, bukan main senangnya Juragan itu ketika melihat hasil jepretannya, sembari kasih janji akan kontak dia lagi masalah komisi fotonya itu, dan janji itu adalah hari ini.
Alhasil, hari ini, adalah hari yang dinanti-nanti oleh si Bedul. Hari ini adalah hari dimana si Juragan janji akan kontak dia mengenai komisi.
“Begitu om ceritanya”, sambung si Bedul dengan nada suara bahagia. Rokoknya habis, dia cabut rokok saya sebatang, dan kali ini dia kasih omongan yang bikin jantung saya ini hampir copot karena kaget.
“Hari ini saya bakal dapet duit om, Juragan itu janji mau kasih ongkosnya hari ini. Jadi saya bisa bayar utang, dan saya janji, si om bakal saya traktir makan sepuasnya.”
“Serius? Janji adalah hutang broh! Bisa masuk neraka kalo ga ditebus itu janji”, sambung saya setengah berseloroh. Memang, saya agak sulit percaya dengan janjinya si Bedul ini. Lebih banyak mangkirnya ketimbang ditepati. Dan kalaupun ditepati, masih ada iming-imingnya, dan biasanya, iming-imingnya itu malah bikin orang yang dijanjikan jadi tambah rugi, tambah stress.
“Tenang om, kali ini beda!” Katanya sambil menyeruput kopinya dengan enteng. Rupanya dia paham kalau saya agak kurang percaya dengan omongannya itu.
“Paling sebentar lagi si Juragan bakal telpon, dan pastinya, hari ini kita akan makan enak om, sampe kenyang. Kita ke restaurant om, bukan makan di warung pinggir jalan, tapi restaurant yang beneran, yang makanannya enak-enak dan mahal-mahal. Si om tenang aja, semuanya saya yang traktir! Pokoknya, hari ini kita habiskan honor foto saya, jangan ada sisa. Kalau perlu, kita makan di beberapa tempat om, supaya lebih mantab!”. Omongannya terpaksa dia stop. HP nya berbunyi. Rupanya si juragan yang dia tunggu-tunggu kabarnya itu menelpon dia. Langsung dia angkat telpon dan kasih isyarat ke saya supaya saya jangan bersuara.
“Gimana Pak? Oh, saya kebetulan lagi di kantor pak, yah, maklum pak, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan…”. "Masih saja hobby bohong mahluk yang satu ini", celetuk saya dalam hati.
“Oh, OK Pak, Saya meluncur ke sana”, sambungnya lagi. Sejurus kemudian, dia masukan HP ke saku, berdiri, lalu dia ajak saya temani dia untuk menemui Juragan itu.
“Ayo Om, temenin saya, mau ambil duit nih. Habis itu kita jalan cari makan, sesuai janji saya Om”. Ucap si Bedul sambil pakai jaket. Serius benar rupanya Bedul kali ini. Saya lihat, wajahnya cerah ceria, dan solahnya penuh semangat. Benar rupanya hari ini dia bakal terima uang untuk ongkos fotonya.
“Siap!” Sahut saya jadi ikut bersemangat. Saya bayar kopi, yang untungnya hanya habis dua gelas saja, lalu saya ikuti langkah Bedul menuju motor yang saya parkir di depan warung. Wah, tentunya dia bakal traktir saya isi bensin juga. Jadi makin semangat saya jadinya.
Tak sampai satu jam, sampailah kami ke rumah si Juragan itu. Rumahnya mentereng, mewah, dan di dalam garasi serta halaman, berderet mobil mewah yang bikin saya jadi tambah sumringah. Kalau dilihat dari semua kemewahan ini, tak salah tentunya kalau saya jadi punya pikiran yang muluk-muluk. Bedul pasti dapat ongkos lumayan banyak untuk fotonya.
Terbayang sudah berbagai macam makanan enak yang bakal saya santap malam ini. Zonder bayar, alias gratis. Wah! Kalau setiap malam bisa begini, saya tak akan keberatan kalau harus membonceng si Bedul kemanapun. Kalau perlu saya gendong dia ke atas gunung! Serius!
Bersambung ke Bagian 2, "Fotografi Komersial - Foto Gedung (Nasehat untuk fotografer?)...Bagian Kedua".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar