Kemayoran, Jakarta, Selasa, 26 November 2019
Malam hari disini, sudah menjelang Isya.
Sebenarnya, pertanyaan ini sudah lama diajukan kepada saya…..Lama sekali! Tapi baru sempat saya tulis sekarang.
“Om, gimana sih caranya ambil foto hitam putih yang baek dan bener?”
Duh….Tepok jidat nih saya kalau dapat pertanyaan seperti ini. Dia pikir si “fotografi” itu lagi sakit parah, atawe sakit gigi, atau si “fotografi” sedang terjerumus dalam perbuatan yang sesat?....kok dia pake tanya, fotografi yang “baek dan bener” itu gimana?....
Apa ini orang tak paham, sudah dua tahun ini saya tak lagi pegang kamera. Sudah dua tahun ini, saya punya kamera sudah saya bungkus dalam tas, masuk ke dalam rak, dan hanya jadi salah satu benda penghuni tempat terkutuk itu? Dan terlalu lama saya tak pegang kamera, sampai saya lupa, seperti apa bentuknya kamera, dan apa itu shutter dan lensa!
Gimana caranya saya jawab pertanyaan seperti itu?
Bakalan beda cerita kalau pertanyaan sobat saya itu diajukan dua tahun kemarin. Waktu saya masih rajin jepret sana dan jepret sini. Dan kalau sohib saya itu tanya saya saat itu, pasti akan saya jawab pertanyaan sohib saya itu dengan penuh semangat yang berkobar, ditimpali dengan intonasi suara yang naik turunnya macam ombak lautan saat badai besar, dus dengan petir menggelegar dan sambar menyambar….Saya jawab pertanyaan dia sampai khatam….Zonder sisa!!
Tapi, sayangnya, itu dulu…dan….Ya.....Seandainya!
Sekarang saya sama sekali tak mampu menjawab pertanyaan itu….Tak ada intonasi seperti ombak apalagi petir….Yang ada cuma jawaban lirih!
“Tanya mbah google aja sob!”…..Lirih, bahkan nyaris tak terdengar.
Dengar jawaban saya yang “tanpa nyawa” seperti itu, sohib saya kelihatan kaget. Dia pasang roman muka aneh sambil melihat muka saya dalam-dalam, dia pikir, dia salah orang, dan pasti dia berpikir, yang berdiri didepan dia saat itu bukanlah saya!
Saya Cuma senyum….”Bener sob, saya bingung gimana jawabnya” timpal saya, sambil masih pakai intonasi macam manusia yang sudah berhari-hari tak ketemu nasi.
“Coba aja dijawab!”…cecarnya agak ga sabar.
Agak merasa berdosa juga kalau saya tak jawab pertanyaan sobat saya itu. Lama kami berkawan, tak enak juga kalau saya kecewakan dia kali ini.
Yah......okelah, saya akan coba jawab saja pertanyaan dia itu, semampu saya, sebisa saya.
Dan saya ajak sohib saya itu pergi ke warung. Seperti biasa, lagi-lagi ditemani kopi hitam, dan lagi-lagi dihiasi asap rokok!
Alhasil…..mulailah saya bercerita, tentang foto hitam putih, dan inilah ceritanya:
Apakah Sobat pernah menyadari bagaimana beberapa foto hitam-putih terlihat begitu menakjubkan, begitu hidup, dan begitu mampu bertutur kata? dan kemudian sobat ingin mencoba menciptakan foto yang serupa dan hasilnya bikin miris? Hal pertama yang mutlak diperlukan dalam menciptakan foto hitam-putih adalah jiwa, dan hati, dan sama sekali bukan tentang kamera.
Untuk bisa membuat sebuah foto hitam-putih yang bagus kita harus mampu memahami obyek itu secara utuh dalam hitam putih. Tekstur, garis, guratan, atau apa saja yang tampak seperti itu dan bisa ditonjolkan melalui warna hitam dan putih.
Tekstur-tekstur tertentu, semisal tekstur alami akan tampak lebih hidup dan lebih terlihat “bernafas” jika disajikan dengan warna hitam dan putih. Esensi foto hitam dan putih itu adalah tentang menangkap aura dan suasana dramatis, jadi jika obyek foto yang kita incar itu memiliki unsur yang dramatis secara alami, maka sobat sudah melalui langkah pertama dalam menciptakan foto hitam-putih. Contoh tekstur yang tampak bagus dalam nuansa hitam dan putih adalah serat kayu, pecahan logam, pola yang berulang di alam bebas seperti air atau spiral, gurat wajah, dan keseharian akan terlihat kuat, memiliki kharakter, dan bagus untuk foto hitam-putih.
Melalui warna hitam dan putih, cobalah untuk tetap menyertakan unsur simetris dalam frame yang kita ambil. Hal ini lebih mudah untuk membuat foto hitam-putih ketika kita memiliki simetris karena foto tersebut tentunya akan kehilangan unsur warna. Tekstur yang simetris dalam warna hitam dan putih akan terasa lebih hidup dan lebih berbicara, dan selalu menawarkan aura yang tidak dapat ditangkap oleh mata secara awam.
Greyscale bukannya tidak memiliki warna, atau semua yang diambil dalam nuansa abu-abu. Sobat harus memahami konsep greyscale terlebih dahulu sebelum memahami dan menguasai fotografi hitam-putih. Greyscale merupakan spektrum warna hitam, banyak abu-abu dan putih, seperti warna pelangi tetapi bedanya ini dalam serangkaian warna hitam dan putih serta tone abu-abu. Cobalah sobat melihat beberapa hasil karya foto hitam-putih, tentunya tidak hanya melulu warna hitam dan putih kan?
Sebenarnya banyak nuansa serta kedalaman warna abu-abu yang berbeda. Jadi ketika Kita berbicara tentang greyscale, ini berarti adalah cara kita mengukur kedalaman tone abu-abu. Hitam dan putih tentunya termasuk dalam greyscale (skala abu-abu).
Ini akan terdengar sedikit aneh, tetapi ketika kita menemukan apa yang terlihat bagus dalam hitam-putih, sobat bisa memulainya dengan warna kontras yang tinggi pada setiap subyek yang ada di dekat kita.
Warna mencolok seperti merah, ungu, kuning bisa menjadi bahan uji coba awal yang bagus. Dengan menggunakan warna-warna tajam seperti itu, kamera kita akan menafsirkannya secara berbeda. Silahkan Sobat mencoba dan bereksperimen terhadap warna-warna tersebut. Jika sobat tidak bisa menemukan warna-warna kontras itu di sekitar rumah, maka cobalah ke taman terdekat dan potretlah beberapa bunga yang memiliki warna tersebut.
Jadi yang perlu di pahami dan dimengerti adalah foto hitam-putih sebenarnya bukanlah zonder warna sama sekali. Dalam foto hitam putih itu ada warna, bahkan lebih banyak warna ketimbang foto yang benar-benar berwarna. Tujuan dari foto hitam-putih saat ini (bukan pada era kamera dan film dimana tidak ada pilihan selain hitam-putih) adalah menciptakan nuansa abadi dan tidak lekang oleh waktu, dan dengan prespektif yang tepat tentunya akan bisa menyampaikan pesan serta cerita tentang apa yang ada dalam frame itu, secara utuh, alami, dan juga sangat hidup.
Tapi yang paling utama adalah: Jangan pernah berhenti untuk mencoba memotret, dan jangan pernah memotret dengan mata, tapi cobalah memotret dengan hati. Nafas dari setiap foto, adalah cerminan dari hati si fotografer. Foto itu bukan hanya karya, tetapi foto itu adalah sidik jiwa dari sang fotografer yang terekam dalam frame.
Sampai disini, saya perlu diam sekejap. Saya menunggu reaksi sohib saya itu, menunggu supaya otaknya bisa mengunyah dan menelan omongan saya barusan. Jangan-jangan, jawaban saya tidak bikin sreg dia punya hati.
Tapi, untungnya dia menerima jawaban saya, sambil cengar-cengir, dia buka bicara:
“Ah, untunglah……Gue kira lu udah bener-bener pension dan ga mau motret lagi!”
“Jawaban lu barusan, ngebuktiin kalo lu cuma ga sempet motret, atawe lagi jenuh motret,….bukan ga mau motret, apalagi ga akan motret lagi!”
Kaget saya denger jawaban dia. Agak malu juga dengar komentarnya.
Saya akui, beberapa tempo belakangan ini, saya memang benar-benar tak punya kesempatan lagi pegang kamera. Terlalu banyak yang mengganggu, terlalu banyak yang menghalangi. Tapi, sebenarnya, terlalu banyak alas an yang saya bikin, untuk membenarkan kealpaan saya dan kemalasan saya memotret!
Rupanya, sobat saya itu bukan bertanya, tetapi mengingatkan saya.
Sambil saya hisap asap rokok dalam-dalam, saya mulai merasa lucu dan juga malu.
Lucu, karena saya pikir, tadinya sobat saya itu hanya ingin bertanya saja.
Dan malu, karena sobat saya itu rupanya bisa memahami dan mengingatkan saya akan kealpaan dan juga alasan yang selalu saya buat selama ini...alasan untuk tidak motret!
Catatan:
Cerita ini terinspirasi oleh artikel yang ditulis oleh ariespiskha, dan dalam artikel aslinya yang berjudul "Bagaimana Memulai Fotografi Hitam Putih" yang sudah tayang di www.infotografi.com.
Artikel aslinya dapat dilihat di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar