Ciledug, Tangerang, Banten, Senin, 23 Juli 2018
Apa sih bedanya "fotografer dengan tukang foto"???
Bagian Kedua
(Ceritera ini sengaja saya belah menjadi dua babak, ada ceritera bagian satu dan ada ceritera bagian kedua, tujuannya hanyalah agar tak bosan membacanya. Dan kalau sobat bingung membacanya, baca dahulu bahagian pertama, barulah disusul dengan bahagian kedua. Mohon dimaklumi ya sob!)
Sebenarnya, ada yang mengganjal di kepala saya tentang ucapan dia, tentang apa itu fotografer, dan apa itu tukang foto. Saya punya pemikiran sendiri tentang apa itu tukang foto, dan apa itu fotografer dari sudut filosofis maupun praktis.
Ingin rasanya saya kemukakan pendapat saya…….Tapi, melihat roman mukanya yang sedang kusut dan carut marut, tak sampai hati saya jadinya. Biarlah dia tenang dulu, biar berlalu dahulu soalan ini dari dirinya, setelah itu, bolehlah rasanya saya undang dia untuk omong-omong masalah ini, masalah bedanya tukang foto dan fotografer.
“Kalau gw tau bakalan gini jadinya, gw kaga mau ambil job ini om, rugi waktu dan tenaga, tapi hasilnya malah bikin kecewa” sambung bedul sembari melirik kearah gelas kopinya. Kopinya hampir habis, saya menganggukkan kepala, dan dia lalu mengacungkan satu jari ke arah mas penjual kopi, pesan satu gelas lagi…..
“Mana orang bisa tau nantinya gimana mas bro, Cuma peramal aja yang tahu, atau merasa tahu, masa depan itu kaya gimana,” jawab saya. Dalam hati sayapun sependapat dengan kawan saya itu. Kalaulah saya bisa meramal dan tahu masa depan itu seperti apa, tentu saja saya akan berkilah seribu satu cara supaya saya tak ketemu dia hari ini. Rugi! Rokok saya musnah, malah saya juga harus kena traktir kopi!
Malam itu kita ngobrol sampai hampir subuh. Pelan-pelan, kawan saya itu rasanya mulai tenang dan bisa enteng kepalanya. Tepat jam empat pagi, dia pamit pulang, sayapun pulang juga. Enak juga sesekali omong-omong tentang topik yang “enteng-enteng berat” seperti ini.
Mungkin lain waktu, bisalah dilanjut ngobrol-ngobrol seperti ini lagi, tentu saja saya akan bikin persiapan matang. Saya akan siapkan air panas di termos dan juga kopi sachet puluhan renceng, jadi tak terlalu hancur-lebur saya punya kantong.
Setiba di rumah, sudah jam 5 pagi, jelas tak mungkin rasanya saya pergi nguli ke kantor hari itu. Jadi terpaksalah saya berbohong, kalau saya tak enak badan, dan tak dapat masuk kerja….
Seperti yang di awal saya ceritakan, kalaulah saja malam itu saya ada kerja lembur, dan harus terpaku di kantor, atau kalau saja saya punya kemampuan meramal yang cespleng dan jitu, tentu saja saya akan berkilah seribu satu cara, supaya saya bisa menghindar, dan tak jadi ketemu kawan saya malam itu!
Untuk melengkapi penderitaan sobat jepret sekalian, berikut ini adalah beberapa foto dari saya, yang bukan seorang fotografer dan juga bukan seorang tukang foto. Dan juga ada tambahan catatan, tentang apa itu fotografer dan apa itu tukang foto, berdasarkan sudut pandang dari seorang fotografer kawakan.
Tambahan:
Kemarin dulu, sebelum saya ketemu kawan saya ini, saya membaca suatu artikel yang terus terang, sangat pas dengan obrolan kami hari itu. Judul dari artikel itu adalah; “Perbedaan tukang foto dengan fotografer”, yang ditulis oleh fotografer kawakan, tuan Enche Tjin. Dalam artikelnya tersebut, beliau menulis tentang perbedaan secara definisi singkat saja, tanpa disertai dengan penjelasan yang mendetail mengenai kedua profesi tersebut.
Dalam artikelnya, tuan Enche Tjin menulis:
“Pada dasarnya istilah tukang foto dan fotografer sama saja, yaitu orang yang ahli dalam membuat foto. Tapi istilah tukang foto lambat laun menjadi menurun nilainya, sedangkan titel fotografer semakin keren dewasa ini.
Dulu seseorang disebut tukang foto (kadang disebut juga kameramen), adalah orang yang menguasai teknik fotografi yang baik, tapi sekarang ini, tukang foto identik dengan orang-orang yang sekedar bisa mengunakan kamera dan tidak harus ahli di dalam bidangnya, apalagi di era digital yang serba otomatis, tinggal jepret pakai lampu kilat saja langsung, pasti terang gambarnya.
Tukang foto juga lebih identik dengan orang-orang yang menjajakan jasa foto dengan tarif relatif murah, seperti yang kita lihat di kawasan wisata ataupun tukang foto di acara-acara sosial seperti pernikahan.
Lalu apa beda tukang foto dengan fotografer?
Kalau tukang foto lebih bersifat reaktif terhadap suatu keadaan, fotografer pendekatannya lebih berbeda. Seorang fotografer menghabiskan banyak waktunya tidak di dalam sesi pemotretan saja, tetapi sebagian besar lebih ke pembuatan konsep & ide, perencanaan, persiapan, dan setelah selesai foto, masih harus melakukan post-processing (editing), layout dan percetakan.
Banyak yang harus dipikirkan untuk menjadi fotografer, apalagi fotografer profesional yang bertarif tinggi. Ide kreatif, eksekusi dan hasil foto lah yang membuat seorang fotografer dibayar jauh lebih tinggi nilainya daripada aksi motret itu sendiri.
Nah, itulah bedanya!
Sampai disini, saya bisa bilang agak setuju, tetapi, kalau sobat jepret punya pendapat lain, tak apalah, saya juga akan menyetujuinya juga.
Dan lagi, kalau boleh jujur, berdasarkan definisi yang sudah diterangkan oleh fotografer kawakan tersebut di atas (tuan Enche Tjin), saya tidaklah masuk ke dalam golongan fotografer, ataupun golongan tukang foto.
Kesimpulannya, saya hanya masuk ke dalam golongan orang yang hobby foto….itu saja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar