Kemayoran, Jakarta, Rabu, 13 Juni 2018
Pk. 01.30 Waktu Indonesia Barat, dan saya masih belum bisa tidur!
Selamat pagi, siang, sore dan malam untuk kalian, para sahabatku. Apa kabar sobat jepret hari ini? Semoga semburat cahaya sang mentari tersenyum kepada kalian, seperti halnya ia mensaputkan kelembutan cintanya pada langit sore hari, menghembuskan dengan lembut, selarik kebahagiaan ke dalam relung kalbu, mengusap lembut jiwa kita, mendekap kita dalam kehangatan cintanya, dan membisikkan sejuta “bahagia”, kedalam setiap mili dari ceruk hati kita.
Agak puitiskan? Hahahaha….bukan sobat, ini bukan berarti blog ini berbelok menjadi blog yang sifatnya “mendayu-dayu”, hahahaha…sama sekali bukan! Hanya saja, efek dari kopi yang luar biasa, telah membuat mata ini jadi seperti pintu angkot usang, terus terbuka dan tak mau menutup! Efeknya? Ya efeknya seperti tulisan saya di atas, saya jadi berlagak puitis, macam anak SMU yang terpesona dengan guratan pena Khalil Gibran!
Duh, ngeri sekali bukan? Ya sudahlah, daripada blog yang sudah susah payah saya buat ini jadi bubar (hanya karena saya jadi “pujangga dadakan”), lebih baik saya menulis tentang hal yang “ber-atmosfer” fotografi saja ya sob!
Nah, kali ini saya akan membahas tentang satu spot fotografi, yang sebenarnya sangat unik, tetapi ternyata, kurang begitu menarik perhatian penggemar dan juga komunitas fotografi di Jakarta. Spot tersebut adalah “Museum Satria Mandala".
Padahal, kalau boleh jujur, museum Satria Mandala ini menawarkan banyak sekali kelebihan yang berbeda dibanding dengan spot lain. Salah satu contoh adalah suasananya. Museum ini tidak terlalu ramai, sehingga dijamin, konsentrasi saat sobat-sobat jepret memotret atau "beraksi", tak akan terganggu oleh lalu lalang pengunjung.
Kemudian ada obyek-obyek yang sangat menarik (dengan nuansa militer tentunya!) yang sangat cocok dijadikan obyek utama (still life fotografi, ataupun fotografi obyek), ataupun dijadikan latar belakang (background) foto. Belum lagi, kalau sobat memang tertarik dengan dunia militer dan fotografi, waduh, bisa di mix tuh sob, dan spot ini, adalah tempat yang sangat tepat untuk itu!
Iya sob, spot itu memang museum dalam arti kata yang sebenarnya. Tetapi, berbeda dengan museum lainnya, dalam museum Satria Mandala ini, yang dipamerkan adalah segala hal yang berbau militer, seperti senjata, pesawat, seragam, kapal perang, juga berbagai kejadian sejarah yang berkaitan dengan kegiatan militer.
Tetapi, tak banyak yang mengetahui, bahwasanya, museum ini menyimpan satu kisah yang sangat tragis dan kelam. Kisah dimana Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno, menghabiskan masa-masa terakhir dalam hidupnya dalam kesepian, kesendirian, dipenjara dan diasingkan sampai ajal menjemput, justru oleh orang-orang dari bangsanya sendiri.
Memang Ironis, Presiden yang sekaligus Proklamator Republik Indonesia, diperlakukan sedemikian menyedihkan, bahkan hingga saat ajalnya, tak ada keistimewaan dan penghargaan yang diberikan kepada beliau.
Saya tidak akan bertutur panjang lebar, karena kapasitas saya yang memang sangat lemah dalam mewartakan tentang artikel ini. Untuk itu, saya akan menyadur dari salah satu sumber yang dapat dipercaya. So, tanpa panjang lebar, berikut kisahnya:
Museum Satria Mandala adalah museum sejarah perjuangan Tentara Nasional Indonesia yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Museum yang diresmikan pada tahun 1972 oleh mantan Presiden Indonesia, Soeharto ini awalnya adalah rumah dari salah satu istri mantan Presiden Indonesia, Soekarno, yaitu istrinya yang bernama Ratna Sari Dewi Soekarno. Dalam museum ini dapat ditemui berbagai koleksi peralatan perang di Indonesia, dari masa lampau sampai modern seperti koleksi ranjau, rudal, torpedo, tank, meriambahkan helikopter dan pesawat terbang (satu di antaranya adalah pesawat Cureng yang pernah diterbangkan oleh Marsekal Udara Agustinus Adisucipto).
Selain itu museum ini juga menyimpan berbagai berbagai benda bersejarah yang berkaitan dengan TNI seperti aneka senjata berat maupun ringan, atribut ketentaraan, panji-panji dan lambang-lambang di lingkungan TNI. Selain itu di museum ini dipamerkan juga tandu yang dipergunakan untuk mengusung Panglima Besar Jenderal Soedirman saat dia bergerilya dalam keadaan sakit melawan pendudukan kembali Belanda pada era 1940-an.
Masih dalam kompleks Museum TNI Satriamandala ini terdapat juga Museum Waspada Purbawisesa yang menampilkan diorama ketika TNI bersama-sama dengan rakyat menumpas gerombolan separatis DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan danSulawesi Selatan pada ear tahun 1960-an. Fasilitas lainnya yang ada di Museum TNI Satriamandala ini antara lain adalah Taman Bacaan Anak, Kios Cenderamata, Kantin serta Gedung Serbaguna yang berkapasitas 600 kursi.
Dan berikut ini adalah satu versi yang memuat tentang kisah tragis, saat-saat terakhir dari Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Sukarno. Satu kisah menyedihkan yang seharusnya diketahui oleh generasi muda penerus bangsa, betapa elit bangsa ini, sama sekali tak menghargai pahlawan-pahlawannya.
Bangunan yang terletak di Jalan Gatot Subroto Nomor 14 Jakarta, itu masih kokoh berdiri. Bangunan ini kini digunakan sebagai Museum Satria Mandala milik TNI. Mulai dari halaman depan hingga bagian belakang dan dalam gedung penuh berisi benda-benda berbau militer.
Masuk ke dalam ruang utama, dua bilah pintu dengan tinggi mencapai 2 meter dan lebar masing-masing sekitar 1,25 meter menyambut setiap orang. Tak sembarangan, pintu itu terbuat dari kayu jadi yang dipenuhi ukiran baik di bagian luar maupun dalam.
Usai melewati pintu utama, sebuah replika teks proklamasi yang memenuhi hampir dua pertiga dinding dengan tinggi sekitar 3 meter langsung menyambut mata. Namun demikian, tak banyak benda yang identik dengan Soekarno maupun Dewi terpampang di situ.
Jika dapat disebut komplek rumah, maka Wisma Yasoo terbagi menjadi beberapa gedung yang tersambung menjadi satu kesatuan. Komplek itu dapat disusuri searah jarum jam, mulai dari pintu utama, kita harus menghadap ke kiri, kemudian lanjut berjalan hingga ujung.
Sesampai di ujung gedung utama, orang diharuskan berbelok ke kanan dan menemukan ruangan yang luas dengan berbagai pajangan bintang jasa. Mungkin akan sedikit bingung jika berada di ruang itu, karena tidak ada akses sama sekali untuk berpindah ke ruangan lain.
Tetapi, jika teliti, di sana terdapat sebuah tangga yang menghubungkan ruang di bawah yang kini berfungsi sebagai ruang penyimpanan senjata. Saat di dalam pun, hanya ada satu akses, yakni sebuah pintu yang akan menghubungkan dengan halaman belakang gedung utama.
Pada halaman belakang itu, suasana nyaman sangat terasa. Di sana terdapat sebuah kolam ikan berukuran besar, yang dinaungi pohon-pohon rimbun. Tempat yang nyaman untuk menghabiskan waktu luang dengan bersantai.
Di luar gedung utama, terdapat sebuah gedung dua lantai yang kini berfungsi sebagai ruang diorama. Tetapi, kondisi lantai 1 gedung itu tidak dapat dijamah lantaran rusak akibat banjir besar sekitar tahun 2007 yang melanda Jakarta.
Hampir tak ada jejak Soekarno di sana. Padahal dulu, bangunan ini bernama Wisma Yasoo. Soekarno membangun wisma ini untuk sang istri kelima Naoko Nemoto, yang kemudian diberi nama Ratna Sari Dewi.
"Ini dulu rumahnya Soekarno waktu masih jadi presiden," ujar salah satu karyawan Museum, Dedi Kurniadi (35) saat berbincang dengan merdeka.com di sela aktivitasnya merawat rumput di Wisma Yasoo, Rabu (19/6).
Wisma Yasoo memang dibangun oleh Soekarno untuk beristirahat melepas lelas usai menjalankan tugas sebagai kepala negara. Di rumah itu, Soekarno memadu kasih dengan Dewi, hingga istrinya itu mengandung seorang anak yang dikenal dengan nama Kartika Sari Dewi.
Namun, bayangan kesenangan yang dulu diidamkan Soekarno akhirnya hilang seketika, saat rezim pemerintahan dipegang oleh Soeharto.Situasi semakin buruk sehingga Soekarno akhirnya meminta Dewi melahirkan ke luar negeri. Dia takut terjadi apa-apa pada keluarganya.
Wisma itu pun akhirnya kosong. Soeharto memanfaatkannya untuk menahan Soekarno di tempat itu. Mengasingkannya dari dunia luar. Alat sadap dipasang hampir di setiap sudut Wisma. Penjaga menempel Soekarno dengan ketat.
Soekarno juga tidak ditempatkan di gedung utama. Dia harus mendekam di sebuah ruangan pengap di berukuran 10x15 meter. Gedung itu diberi nama Makita Loka, yang kini berfungsi sebagai ruang Kepala Museum.
"Ditahannya di ruang Kepala Museum. Di sana ada kamar mandinya," kata Dedi.
Ruang itu hanya bisa diakses melalui halaman belakang komplek rumah. Tidak ada jendela maupun saluran udara di ruangan itu. Hanya terdapat satu pintu sebagai jalur akses keluar masuk ruangan.
Di ruang inilah Soekarno menjalani hidup sebagai tahanan politik tanpa proses peradilan. Rezim Soeharto pun tidak memberikan celah bagi Soekarno untuk sekedar mendapat informasi perkembangan ibu kota bahkan Indonesia.
Kondisi itu membuat Soekarno tertekan dan semakin melemahkan kesehatannya yang mengidap komplikasi penyakit salah satunya ginjal. Penyakit itu kian parah sehingga harus dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto. Tetapi, langkah itu tidak memberikan hasil hingga akhirnya Soekarno menghembuskan nafas terakhir pada Minggu, 21 Juni 1970.
Jenazah Soekarno sempat disemayamkan di Wisma Yasoo sebelum dimakamkan. Saat tiba di rumah itu, setelah jenazah dimuliasara, banyak orang datang untuk melepas kepergian Soekarno untuk terakhir kalinya.
Hanya ada satu kata yang mampu mewakili kisah Soekarno , 'ironis'. Ir. Soekarno harus menjalani saat-saat terakhir hidupnya, dalam siksaan....oleh bangsanya sendiri!
Demikian sob, sekelumit kisah tentang Museum Satria Mandala.
Oh ya, untuk melengkapi artikel ini, ada baiknya saya sertakan beberapa foto yang saya ambil di museum tersebut.