Kemayoran, Jakarta, Senin, 30 April 2018
Kembali pada artikel yang berserita tentang hal-hal yang ber-"aroma" fotografi. Jikalau sebelumnya, saya sudah mengusung artikel tentang Stasiun Kota atau Beos, Museum Bank Mandiri, Toko Merah dan Glodok, kali ini, saya akan mengulas secara singkat, tentang satu spot fotografi di Jakarta, yang rasa-rasanya, hampir semua orang Jakarta mengetahui tentang tempat ini. Tak lain dan tak bukan, tempat itu adalah Lapangan Fatahillah. Bener sob, satu tempat yang terletak di kawasan "Kota Toea" Jakarta, yang punya nilai sejarah yang sangat tinggi, walaupun, sayangnya, saat ini, tak banyak orang yang tahu tentang sejarah atau masa lalu tempat ini (lebih tepatnya, masa bodoh atau cuek).
Tempat ini berupa lapangan yang cukup luas, dengan diapit oleh gedung-gedung tua di sekelilingnya, seperti gedung Museum Jakarta (dahulu museum Fatahillah), museum Keramik dan Senirupa, museum Wayang, cafe Batavia, Kantor Pos, dan lain-lain. Tak salah kiranya, kalau tempat ini menjadi spot foto yang sangat menarik, dan juga destinasi wisata edukasi yang bagus.
Saat yang paling tepat untuk mengambil foto di tempat ini, adalah di pagi hari, selain hari Sabtu dan Minggu. Alasannya, di hari Sabtu Minggu, tempat ini menjadi padat luar biasa! Penuh dengan manusia, sulit sekali mengambil foto yang bagus dengan latar belakang gedung-gedung tua, ditengah lalu-lalang manusia yang mungkin, ribuan jumlahnya. Namun, jika memang yang dituju adalah obyek keramaian, maka Sabtu dan Minggu adalah hari yang tepat!
Dan satu lagi keunikan dari tempat ini, dihari Sabtu dan Minggu, kalau kita mampir ke sana, akan kita temui macam-macam rupa, obyek, dan juga "manusia-manusia yang sangat menarik, mulai dari sepada warna-warni, hiburan seniman "Manusia Patung", seniman Boneka, Meriam si Jagur, sampai tukang jualan casing HP (nah lho....ga nyambung banget ya), jadi lebih mirip arena pasar tumpah ketimbang tempat bersejarah!
Oh ya, demi menjunjung tinggi obyektifitas artikel, supaya berimbang, maka dalam artikel ini, akan saya sertakan juga sekelumit sejarah tentang Lapangan Fatrahillah, untuk menambah khasanah referensi sejarah kita. Disadur dari portal merdeka.com, dan juga saya akan mengutip tulisan dari satu web yang menurut saya, luar biasa, tunawisma.com. demikian ulasannya :
Merdeka.com - Senja di Lapangan Fatahillah sangat berbeda dengan senja di tempat lain di Jakarta. Meski mungkin sama-sama riuh, menghabiskan matahari di tengah kepungan bangunan tua menghadirkan nuansa yang sama sekali berbeda.
Jika suasana hati tak sedang ingin mengenang, sesekali nikmati saja geliatnya dengan membaur pada keramaian.
Di tengah lapangan biasanya akan gampang ditemui pertunjukan setiap akhir pekan. Termasuk kuda lumping pamer semburan api dari mulut sang pemainnya.
Atau, ulurkan saja tangan ke peramal dan nikmati ocehannya membaca garis tangan soal nasib rizki, jodoh atau pekerjaan. Tak perlu bersungguh-sungguh dihayati toh mereka hanya mencari sesuap nasi.
Jika bosan dengan peramal pilih saja yang lain, tukang tato, pelukis atau menikmati kopi untuk menemani senja atau sekadar melihat turis-turis berfoto di depan Gedung Fatahillah atau meriam kuno.
Tempat eksekusi mati
Lima meriam yang dipasang konon adalah pendamping meriam Si Jagur yang kini dipasang dekat Kantor Pos Besar. Si Jagur adalah meriam legendaris milik Portugis yang dibangun di Macao dan ditempatkan di benteng St Jago de Barra dekat pantai.
Meriam seberat 3,5 ton itu kemudian dipindah untuk memperkuat benteng di Malaka melawan Belanda tahun 1641. Portugis yang kalah akhirnya merelakan meriam itu diangkut Belanda. Penduduk setempat yang repot menyebut benteng asal meriam di St Jago de Barra menyingkatnya menjadi si Jagur.
"Dinamai Si Jagur oleh orang Betawi karena meriam-meriam besar itu bunyinya jegur-jegur," tutur Khasirun Musakhir Pengelola dan Perawatan Museum Sejarah Jakarta, Sabtu (22/11) yang lampau. Konon kembaran Si Jagur juga ada di Banten dengan nama Ki Amuk dan Nyi Setomi di Surakarta.
Seperti Stadhuis atau balai kota di seluruh Eropa abad ke-17, Jan Pieterszoon Coen ketika membangun balai kota untuk Batavia juga melengkapinya dengan stadhuis plein atau alun-alun kota.
Dia juga menempatkan sebuah air mancur bersegi delapan sebagai sumber air bagi masyarakat setempat yang diambilkan dari Pancoran Glodok melalui jaringan pipa bawah tanah.
Selain berfungsi sebagai tempat keceriaan dengan pasar rakyat atau pekan raya di era itu stadhuis plein adalah tempat eksekusi. Pengumuman eksekusi biasanya dilakukan pagi hari ketika bel berukir soli deo gloria di atap Stadhuis berbunyi. Eksekusi lazim dilakukan sore harinya.
Pada tahun 1973 Pemda DKI Jakarta memfungsikan kembali taman tersebut dengan memberi nama baru yaitu Taman Fatahillah sebagai penghormatan kepada panglima Fatahillah pendiri kota Jakarta.
(Artikel asli ditulis oleh Wirawan Winarto)
Lapangan Fatahillah adalah altar Geger Pacinan. Kerusuhan Chinezenmoord tahun 1740 menewaskan puluhan ribu orang Tionghoa membanjiri dataran ini dengan darah. Orang-orang Tionghoa ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda, diikat di tanah lapang ini, kemudian sang gubernur memerintahkan eksekusi mati dari jendela Stadhuis de Batavia.
Peristiwa brutal itu benar-benar telah mencoreng reputasi pemerintah Hindia Belanda, hingga akhirnya sang gubernur, Adriaan Valckenier, dipenjarakan dan mati di ruang tahanan. Nasib orang Betawi dan Jawa tidak kalah menyedihkan. Di gedung Stadhuis de Batavia itulah mereka menjalani eksekusi. Genta didentangkan menyesaki Lapangan Fatahillah dan tubuh-tubuh para pribumi itu pun seketika tergantung tidak bernyawa di tiang-tiang eksekusi Belanda.
Seiring dengan sejarah Kota Jakarta, Lapngan Fatahillah memang selalu bergema. Namun bagi para pengunjung sekarang, barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa lapangan ini pernah menyimpan gurat-gurat memori kelam. Lahan pembunuhan. Lahan pembantaian.
Pada beberapa gedung yang mengitari lapangan ini juga pernah tersimpan penjara-penjara bawah tanah. Bilik-bilik sempit seluas kamar pas itu mengurung para tawanan dalam kerangkeng-kerangkeng sesak. Ketika air laut pasang, air merendam seantero penjara bawah tanah, menyisakan sedikit ruang kosong untuk bernapas dan meninggalkan kondisi fisik para tawanan dalam keadaan sangat menyedihkan. Bukan hanya rakyat jelata yang pernah menyicipi penjara ini. Konon Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien juga pernah merasakan sadisnya hukuman Belanda di tempat ini.
Sepak terjang pemerintah kolonial tidak memandang bulu. Adalah Peter Erberveld yang pernah dieksekusi di lapangan ini. Kedua tangan dan kedua kaki sang perusuh diikat oleh empat kuda pilihan, kemudian ditarik ke empat arah berlawanan. Tubuh orang keturunan Jerman ini remuk redam tercabik-cabik menjadi empat bagian.
Jasad Elberveld dimakamkan di pinggir Jalan Pangeran Jayakarta dan ditandai oleh sebuah tugu. Pada tugu tersebut, kepala Elberveld dipancang di atas sebilah tombak dan di bawahnya tertatah sebuah prasasti. Jepang menghancurkan tugu ini pada saat pendudukan mereka di Indonesia pada tahun 1942, namun prasasti berhasil diselamatkan. Kini kawasan tersebut dinamai Kampung Pecah Kulit lantaran di tempat itulah seluruh kulit tubuh sang tokoh perusuh terlepas dari tubuhnya.
Perjalanan pagi di Lapangan Fatahillah berpayung mendung. Gerimis membasuh sedikit demi sedikit semenjak subuh dan nampaknya tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Dari jendela lantai dua Cafe Batavia saya melihat para pengunjung di bawah sana tertawa riang mengisi aktivitas Minggu pagi. Lembar-lembar nan kelam Lapangan Fatahillah nampaknya sudah menjadi kisah yang telah lalu.
Itulah dua versi dari sejarah lapangan Fatahillah. Memang, terlepas dari masa lalu yang kelam, tempat ini memiliki aura dan juga sisi fotografis yang sangat menarik. Tempat yang menawarkan setting fotografi yang "multi" waktu. Jika para penggemar fotografi mampu menyiasatinya dengan apik, maka tempat ini bisa dijadikan latar belakang foto yang luar biasa! Berbagai macam tema foto bisa diterapkan di tempat ini, mulai dari still life photography
Nah, itulah dua versi tentang Lapangan Fatahillah, yang menurut saya, sangat elok jika kita ketahui (walaupun hanya sekilas). Dengan mengetahui latar belakang atau asal usul dari tempat ini, kita tak hanya mampu memanfaatkan tempat ini hanya sebagai tenpat jeprat-jepret yang bagus, tetapi juga mampu menilai tempat ini secara maknawi, dan juga memberikan nuansa "penghargaan" atas pribadi-pribadi yang pernah "terlibat" di dalamnya.
Demikianlah penuturan singkat saya, tentang satu spot fotografi yang unik di Jakarta, semoga, di waktu-waktu mendatang, akan ada lagi review singkat tentang tempat-tempat menarik untuk berfoto!
Salam Jepret sobat semuanya!
Oh ya, hampir lupa, berikut saya sertakan, beberapa foto yang saya ambil di Lapangan Fatahillah, semoga berkenan!